Sabtu, 07 Maret 2009

PSK

Terletak di wilayah Kabupaten Sumedang, propinsi Jawa Barat, Jatinangor selama lebih dari sepuluh tahun terakhir dikenal sebagai kawasan pendidikan. Aktivitas mahasiswa di empat perguruan tinggi yang berada di Jatinangor menjadi bagian utama dinamika kehidupan di daerah ini.

Berbagai cerita mengenai mahasiswa yang sebagian besar berstatus anak kos menjadi kisah klasik tentang area Jatinangor. Namun, siapa sangka ada kisah lain yang lebih menarik dan menggelitik di kawasan padat mahasiswa ini.

Kisah itu berangkat dari adanya beberapa penduduk asli Jatinangor yang mencari nafkah dengan menjadi Pekerja Seks Komersil (PSK) di kawasan ini. Tidak ada data pasti mengenai jumlah mereka. Meski jumlahnya terbilang kecil, tidak berarti keberadaan mereka dapat diabaikan begitu saja.

"Kalau dulu mah banyak. Sejak ada kampus mah sepi," ujar seorang penduduk asal Jatinangor. Pria ini menambahkan, tempat yang masih banyak PSK-nya bukan di Jatinangor melainkan di sekitar Cibiru, Cileunyi, dan Tanjung Sari.

Doyat (62), pria yang bekerja di Kantor Kelurahan Jatiroke, Kecamatan Jatinangor, menuturkan antara tahun 1950-an sampai 1970-an memang ada beberapa penduduk perempuan Jatiroke yang menjadi PSK.

"Tapi beroperasinya tidak di Jatiroke melainkan ke luar. Jumlahnya juga cuma sedikit. Hanya beberapa orang saja," tutur Doyat.

Kupu-kupu malam di desa itu sudah ada sejak lama, bahkan sebelum nama kampung Ciromed di kecamatan Tanjung Sari dikenal sebagai lokalisasi PSK. Namun, ketika Ciromed mulai ramai dengan warung remang-remangnya, PSK di Jatiroke justru mulai berkurang bahkan menghilang.

"Sejak ada pengarahan dari pemerintah desa, para PSK pun diberi modal kecil-kecilan untuk memulai usaha. Alhamdulillah sekarang sudah berhenti," lanjut pria yang sudah menjadi aparat desa sejak awal 1980 ini.
Selengkapnya...

Homo

Pria Gay Lebih Mudah Terstimulasi Foto Seksual
Selasa, 29 Juli, 2008 oleh Arli Aditya Parikesit

Tiga dekade riset terhadap stimulasi seksual pria telah menunjukkan pola orientasi seksual yang jelas. Pria gay lebih mudah terstimulasi secara seksual terhadap foto pria dan pria heteroseksual terhadap foto perempuan. Dengan kata lain, pola stimulasi seksual pria seakan sudah jelas.

Namun penemuan dari riset Northwestern University telah memperluas riset terbatas pada seksualitas perempuan dengan adanya penemuan berbeda terkait dengan stimulasi seksual perempuan. Sangat berbeda dengan pria, baik perempuan lesbian dan heteroseksual cenderung terstimulasi secara seksual oleh stimulasi erotik pria dan perempuan, oleh karena itu memiliki pola stimulasi biseksual. “Temuan ini mewakili perbedaan mendasar antara otak pria dan perempuan, dan memiliki implikasi penting untuk memahami perbedaan pengembangan orientasi seksual antara pria dan perempuan”, demikian kata J. Michael Bailey, Profesor Psikologi pada Northwestern dan peneliti senior pada riset “ Perbedaan seks pada spesifisitas stimulasi seksual.” Riset ini telah diterbitkan pada journal of Psychological Science. Fokus utama Riset Bailey adalah genetika dan pengaruh lingkungan pada orientasi seksual, dan dia adalah salah satu peneliti kunci pada riset yang sering diacu mengenai adanya pengaruh genetika pada homoseksualitas pria.

Orientasi Seksual

Seperti pada banyak kajian mengenai seksualitas, riset terhadap pola stimulasi seksual perempuan jauh tertinggal dibanding pada pria, namun riset mutakhir pada subjek tersebut telah memberi petunjuk, bahwa dibandingkan dengan pria, pola stimulasi seksual perempuan ternyata tidak terlalu berhubungan dengan orientasi seksual mereka. Riset dari Northwestern membuktikan bahwa hal ini benar. Peneliti Northwestern mengukur stimulasi seksual secara psikologis dan fisiologis/faal pada pria dan perempuan homoseksual dan heteroseksual, selama mereka menonton film erotik. Ada tiga tipe film erotik: Melibatkan hanya pria, Melibatkan hanya perempuan, dan melibatkan kedua jenis kelamin. Sama dengan riset sebelumnya, peneliti menemukan bahwa respon pria konsisten dengan orientasi seksual. Sebagai kontras, baik perempuan homoseksual dan heteroseksual menunjukkan pola biseksual secara psikologis dan juga secara stimulasi genital. Faktanya, perempuan heteroseksual mengalami stimulasi seksual dengan menonton stimulasi erotik perempuan, sama halnya dengan menonton stimulasi erotik pria, walaupun mereka lebih suka berhubungan seks dengan pria daripada dengan perempuan.

“Faktanya, mayoritas mutlak perempuan pada masyarakat barat kontemporer hanya berhubungan seks secara eksklusif dengan pria.” kata Meredith Chivers, Kandidat doktor Psikologi klinis pada Northwestern University, Intern psikologi pada Centre for Addiction and Mental Health dan pengarang pertama pada riset. “ Namun saya sudah lama mencurigai bahwa seksualitas perempuan sangat berbeda dengan pria, dan riset ini menunjukkan bahwa memang secara saintifik demikian.” Menurut Chivers, Hasil riset ini menunjukkan bahwa seksualitas perempuan cenderung memiliki fleksibilitas lebih tinggi daripada pria dia area lain diluar orientasi seksual. “Jika dikumpulkan bersama, hasil ini menunjukkan bahwa seksualitas perempuan berbeda dengan pria, dan diperlukannya model pengembangan dan organisasi dari seksualitas perempuan secara independen dari model seksualitas pria.” Demikian kata dia.
Selengkapnya...

Dugem, Narkoba, Dan Sex

Dugem, Narkoba dan Seks

Beberapa waktu yang lalu di sebuah milis para pekerja iklan, salah satu sesepuhnya menghembuskan isu tentang dunia per-dugem-an. Salah satu pokok pikiran yang ada dalam tulisan sesepuh tersebut adalah bahwa dugem selalu identik dengan narkoba dan seks bebas.

Saya, yang dulu pernah jadi “buaya dugem” tentu saja kurang setuju dengan argumen tersebut. Ada benarnya, tapi tidak sepenuhnya benar. Citra tempat dugem sebagai sarang narkoba dan sek bebas sebenarnya merupakan citra yang tidak pada tempatnya. Dugem di klub-klub malam sama saja dengan hang out di tempat lain seperti ke tempat karaoke, bilyard, bahkan nonton film di bioskop. Ini hanya masalah selera.

Tempat dugem juga berjenis-jenis, sesuai dengan selera musik, atmosfir dan isi kantong. Ada yang disebut dengan “musik Kota” dan “musik Selatan”. Ada yang coba menawarkan atmosfir minimalis, groovy, ghotic dan lain-lain. Ada untuk kelas bawah, menengah dan atas.

Kalau narkoba berupa inex disebut identik dengan dugem, bisa ada benarnya kalau kita mengacu ke tempat dugem yang membawakan “musik Kota”. Di Kota sana, dari waiter sampe satpam bisa berperan sebagai pengedar ineks. Tapi kalau Anda pecinta “musik Selatan”, ineks nggak ada enaknya sama sekali untuk dibuat goyang. Bagaimana dengan narkoba jenis lain seperti ubas atau cimenk? Kedua jenis narkoba ini sih nggak ada hubungannya dengan per-dugem-an. Ngubas mah ya ngubas saja, mo dugem ato nggak sama saja! Demikian juga untuk cimenk.

Sekarang bagaimana dengan seks bebas? Lagi-lagi ini menurut saya merupakan salah kaprah mengidentikan kehidupan dugem dengan seks bebas. Kalau pada dasarnya Anda penganut seks bebas dan bertemu dengan penganut yang sama di tempat dugem serta merasa ada chymestry, ya sah-sah saja bila pada akhirnya pulang dugem berakhir di ranjang. Tapi apakah hanya di tempat dugem hal ini bisa berlangsung? Nggak juga. Bahkan di tempat pusat-pusat perbelanjaan pun Anda bisa menemukan cewek-cewek bispak (bisa pake). Lagi-lagi yang penting adalah cymestry. Kalau Anda bukan penganut seks bebas, tentunya kejadian sex after clubbing tidak akan terjadi sama sekali.

Dugem pada dasarnya adalah media untuk melepas stres, untuk relaksasi diri, bukan untuk melarikan diri dari masalah atau untuk hunting cewek/cowok. Dugem juga bisa dipakai untuk sosialisasi, mendapatkan teman baru, syukur-syukur bagi yang jomblo bisa dapat pacar.

Seperti yang telah saya singgung di atas, ada tiga elemen penting dalam bisnis dugem: musik, atmosfir dan target market. Ketiga elemen ini saling terkait. Seorang DJ dengan musik yang diusungnya sangat mempengaruhi siapa clubber yang bakal datang ke tempat tersebut. Tidak berlebihan bila yang namanya resident DJ memegang peranan sentral untuk mendatang pengunjung.

Karena itu pulalah, sebagian dugem-ers cenderung fanatik pada musik dan DJ tertentu. Bila DJ Riri, misalnya lagi tampil di Embassy, dia pasti akan datang ke sana. Kalau minggu depannya DJ Riri tampil di Centro, ya, dia ngikut. Mereka sudah seperti grouppies saja.

Begitu pula atmosfir tempat. Atmosfir ini tidak semata-mata berkaitan dengan interior tapi juga bagaimana sebuah kerumunan massa (crowd) terbentuk dan berperilaku. Ada orang yang senang dengan crowd yang ”sopan-sopan”, ada juga yang senang crowd yang ekpresif.

Ada juga tempat yang sadar dari awal bahwa tempatnya akan laku kalau melakukan strategi pricing yang benar. Ambil contoh Nu China dan Second Floor yang terkenal dengan harga minumannya yang murah meriah. Soal DJ dan atmosfir tempat, ya so-so saja lah. Beda jauh misalnya dengan Dragonfly atau Ego (tempat VIP Member-nya X2) yang harga minumannya sangat menguras kantong. Mau harga murah atau harga mahal, semua punya pasarnya masing-masing.

So, kalau Anda memang pengen dugem, ya silahkan dugem saja. Buang pikiran kalau Anda akan terlibat masalah narkoba atau bakal menjadi penganut seks bebas karenanya. Just do it yourself! ***
Selengkapnya...